Kenapa Golput Adalah Pilihan Terbaik Bagi Saya (Dan Kamu)

Pertama-tama saya ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini adalah murni pendapat saya pribadi dan sama sekali tidak mewakili pandangan Hitman System sebagai organisasi. Jadi silakan lontarkan segala hujatan, makian (dan juga pujian), pada saya pribadi.

Kurang dari sebulan lagi, pada tanggal 9 Juli 2014, Pemilihan Presiden akan diadakan, di mana-mana semua orang sedang beramai-ramai menyuarakan posisinya. Yang pro Jokowi, yang pro Prabowo, semua bersemangat memberikan argumen kenapa pilihannya yang paling benar. Sebegitu ramainya sampai terasa menjengkelkan. Saya sudah cukup sering menyuarakan posisi saya sebagai golput militan lewat twitter, tapi kali ini saya terdorong untuk menuliskan isi kepala saya dengan lebih panjang dan menawarkan sebuah perspektif lain di masa kegilaan politik ini.

Pertama kali saya partisipasi dalam pemilu itu tahun 1999. Waktu itu saya masih mahasiswa tingkat pertama, saya nyoblos PDIP yang baru saja berdiri. Saya nyoblos PDIP karena pada saat itu ia merupakan simbol reformasi dan harapan akan masa depan Indonesia yang lebih cerah (yang ternyata sekarang jadi sama saja seperti partai lainnya). Cuma sekali itu saja saya ikut nyoblos dan langsung kecewa. PDIP menang mutlak tapi Megawati tidak jadi Presiden. Tanya kenapa? Semakin saya bertambah umur dan pengetahuan, saya tidak pernah nyoblos lagi. Saya menolak untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Banyak orang mencemooh ketika saya menyuarakan posisi saya sebagai golput, mereka mengatakan bahwa saya tidak cinta negara, bukan warga negara yang baik, tidak berhak protes pada pemerintah, dan segala macam argumen basi lainnya yang gampang sekali dipatahkan. Saya tidak masalah, selama tidak nimpuk pakai batu atau ngebakar rumah, silakan saja berkata apapun tentang saya, itu namanya kebebasan berpendapat. Tapi paling tidak yang bisa kamu lakukan sebelum mencela saya adalah membaca dulu beberapa alasan mengapa menurut saya golput adalah pilihan terbaik, bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi kamu.

DEMOKRASI DI INDONESIA ADALAH ILUSI

Agar sebuah demokrasi bisa berjalan dengan baik demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, maka orang-orang yang ikut pemilu harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai agar mereka bisa memahami kondisi negara dan mempertimbangkan dengan baik siapa pemimpin yang akan mereka pilih. Saya rasa kamu juga setuju dengan premis ini, ya kan? Jangan cuma asal milih, tapi jadilah pemilih cerdas, begitu kan kata slogannya? Pemilih yang cerdas akan membuat bangsa ini jadi maju, tapi pemilih yang bodoh akan membuat bangsa ini jadi bobrok.

Saya sangat setuju dengan premis diatas, justru di situlah letak permasalahan pemilu di negara kita ini: sebagian besar pemilih tidak memiki kapasitas dan pengetahuan yang cukup untuk memilih dengan baik dan penuh pertimbangan. Orang-orang yang ikut pemilu sebagian besar adalah orang-orang yang tidak mengerti apapun tentang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum atau tentang hak asasi manusia.

Berapa banyak diantara pemilih yang sungguh-sungguh mencari tahu tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia? Berapa banyak pemilih yang tahu bahwa hampir 50 persen rakyat hidup dibawah US$2 per hari, bahwa 30 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, bahwa hampir setengah penduduk kesulitan dan tidak mempunyai akses air bersih, bahwa setiap 4 menit ada anak kecil yang mati karena sakit, bahwa 8 juta anak kekurangan gizi, bahwa siswa Indonesia dapat peringkat kedua paling bawah tes PISA, bahwa hanya 7 persen penduduk sampai bangku kuliah, bahwa 30 persen wilayah Indonesia belum dialiri listrik, bahwa kasus pelanggaran HAM dan penindasan minoritas semakin tinggi?

Berapa banyak orang yang mengerti dan peduli tentang berbagai masalah kompleks yang dihadapi negara ini? Apakah kamu tahu tentang hal-hal tersebut? Apakah kamu tahu apa rencana konkrit capres pilihanmu untuk mengatasi masalah-masalah di atas?

Di negara miskin yang hanya sekitar 30 persen penduduknya lulus SMA, yang bahkan tidak tahu apa itu artinya demokrasi, mengharapkan penerapan demokrasi yang baik, di mana setiap pemilih memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai untuk dipertimbangkan sebagai dasar atas keputusannya memilih, adalah sebuah ilusi.

Kamu tidak akan meminta orang yang tidak mengerti apapun tentang ilmu kedokteran untuk memeriksa penyakit kamu, kan? Kamu menginginkan seorang dokter yang profesional, mengerti tentang ilmu medis dan berpengalaman, untuk memeriksa tubuh kamu. Tapi kalau soal politik, kenapa semua orang disuruh nyoblos meskipun tidak mengerti sama sekali tentang politik dan masalah kenegaraan?

Sadarilah satu hal ini: TIDAK SEMUA ORANG PUNYA KAPASITAS SEBAGAI PEMILIH. Memaksa setiap warga untuk ikut serta dalam pemilu padahal mereka tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik, adalah hal yang sangat berbahaya. Akibatnya mereka memilih bukan karena pertimbangan matang yang rasional berdasarkan data dan fakta, tapi berdasarkan hal-hal bodoh, seperti agama sang capres, keturunan Cina, foto ciuman dengan kuda, anak sang capres yang gay,  blusukannya sang capres macul lumpur di waduk, atau cuma karena gak suka sama capres yang satu makanya pilih capres lawannya, dan segala macam isu yang sama sekali tidak menyentuh masalah-masalah krusial di atas.

Kalau pemilihnya model begitu, ya wajar kalau suara pemilih jadi gampang disetir dengan gossip dan gambar meme, bisa dibeli seharga Rp. 30.000, atau disogok dengan segelas kopi Starbucks serta promosi marketing lainnya. Kamu pasti tahu video YouTube Pemiyuk, di mana segerombolan selebritis mendorong orang supaya nyoblos. Mungkin buat kamu video itu biasa saja, tapi buat saya, orang yang jadi pengen nyoblos gara-gara melihat selebritis dan pelawak berjoget lucu-lucuan justru adalah orang yang seharusnya jangan nyoblos! Kamu mau orang-orang seperti itu yang menentukan nasib bangsa ini? Coba deh dipikir lagi baik-baik.

Demi kepentingan negara dan orang banyak, justru sebagian besar pemilih yang terdaftar seharusnya tidak boleh ikut pemilu. Karena pemilih yang tidak rasional seperti itu, makanya hasil pemilu sebelumnya kita jadi punya Presiden yang percaya santet, menteri yang percaya kalau nonton pornografi akan merusak sel otak, dan menteri agama yang tukang korupsi. Pemimpin mencerminkan rakyatnya, kalau pemimpinnya bego ya itu karena rakyatnya bego. Mungkin seharusnya untuk ikut pemilu ada ujiannya dulu, untuk memastikan sang pemilih memiliki kapasitas untuk memilih.  Mungkin.

Jason Brennan, seorang filsuf dari Georgetown University, dalam bukunya The Ethics of Voting, mengatakan bahwa mendorong orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memilih, bukan cuma hal yang sia-sia, tapi juga salah secara moral. Memilih bukanlah sebuah kewajiban, tapi bagi banyak orang mungkin sebaiknya punya kewajiban untuk tidak memilih.

Pertanyaan berikutnya adalah: pemerintah tahu bahwa sebagian besar rakyatnya tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik dan cerdas (baca: bego), lalu mengapa semua orang disuruh nyoblos, bahkan yang golput sampai dijadikan sebuah stigma sosial? Seolah-olah pemerintah negara ini memang senang dipilih oleh rakyat yang bego, seolah-olah sistem pemilu ini memang dibuat untuk orang bego yang gampang disetir.  Saya tidak ingin terdengar seperti penggemar teori konspirasi, tapi harusnya kejanggalan ini mengusik siapapun yang bisa berpikir kritis.

“Elo gak ngerti apa-apa soal politik, gak usah sok tau, mending ngomongin cinta aja!” Ini kalimat yang sering sekali ditujukan pada saya, dan ya, saya mengakuinya. Saya bukan dosen ilmu politik, bukan selebritis dalam video Pemiyuk, bukan juga buzzer capres yang dibayar mahal. Saya tidak mengerti ribetnya politik, tidak mengerti cara mengatur ekonomi negara, tidak mengerti bagaimana mencapai kesejahteraan sosial. Saya hanya belajar lewat Google, membaca berita, artikel Wikpedia, ngobrol di warteg dengan tukang ojek, dan cuilan-cuilan informasi dari sana dan sini.

Saya mengakui kalau saya tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik, karena itu saya memutuskan untuk tidak memilih. Saya tidak punya waktu untuk nonton 5 episode debat capres, tidak punya motivasi untuk mempelajari segala aspek politik dan kenegaraan, makanya saya tidak ikut berpatisipasi dalam pesta demokrasi ini.

Oh iya, ngomong-ngomong soal demokrasi, Indonesia itu bukan negara demokrasi loh, tapi negara republik. Apakah kamu tahu bedanya? Kalau tidak tahu, mungkin kamu lah salah satu orang yang seharusnya tidak perlu ikut memilih. Saya berani mengakuinya, tapi apakah kamu berani mengakui kalau kamu juga tidak punya kapasitas sebagai pemilih yang baik?

PEMILU ADALAH MASTURBASI MORAL

“Saya memilih karena saya punya harapan untuk Indonesia.” Ya, kedengarannya indah dan menyentuh, tapi sebagai love and relationship coach yang selalu mengajarkan orang untuk berpikir sehat, tidak terbawa emosi dan berharap berlebihan, bagi saya ini adalah argumen yang hanya memberikan penghiburan semu. Ngarep itu virus yang berbahaya, karena ngarep membutakan mata seseorang dari fakta yang sebenarnya. Bahkan Hitman System punya produk audio lessons All About Ngarep yang membahas betapa bahayanya ngarep.

Kalau melihat seorang wanita yang tetap tinggal bersama dengan seorang pria yang selalu menyakitinya, menganiaya dirinya secara fisik dan mental, selingkuh berulang kali selama bertahun-tahun, tapi tetap berharap bahwa suatu saat sang pria akan berubah, tentu kamu akan menyarankan dia untuk berhenti berharap dan meninggalkan sang pria. Kamu bisa melihat betapa sang wanita tenggelam dalam delusinya sendiri karena sudah sekian lama terkungkung dalam penderitaan sehingga tidak bisa melihat fakta yang begitu jelas di mata orang lain: pria itu tidak akan berubah, dia tidak layak untukmu, pergi tinggalkan dia dan cari kebahagiaanmu sendiri!

Tapi kalo soal politik kok tiba-tiba kamu jadi sama dengan wanita tersebut? Setelah puluhan tahun dan berkali-kali pemilu kamu terus dibohongi, dieksploitasi, ditelantarkan, dikhianati, diperkosa oleh penguasa, tapi masih saja tetap berharap suatu saat keadaan akan berubah? Melakukan hal yang sama terus menerus dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah sebuah kegilaan. Posisi kamu seperti kasus wanita diatas, dan posisi saya adalah orang luar yang kasihan melihat kamu ngarep.

Mungkin saya sok tahu, mungkin pesimisme saya didasari oleh sakit hati, tapi rasanya wajar untuk kehilangan kepercayaan ketika sudah dikecewakan berulang kali. Seperti seseorang yang selalu dikecewakan dalam kisah percintaannya, wajar kalau ia jadi sedikit terlalu berhati-hati, selalu waspada, curiga  dan tidak mudah percaya janji-janji manis lagi.

Mungkin saya salah terlalu sinis terhadap pemerintah, mungkin setelah pemilu kali ini keadaan akan membaik, hukum akan ditegakkan, korupsi diberantas, pendidikan diperbaiki, kesehatan diperhatikan, dan kesejahteraan akan makin merata.  Kalau memang saya terbukti salah, justru itu yang saya inginkan. Tolong buktikan kalau saya salah! Kalau saya boleh berharap, harapan saya adalah agar saya salah.  There’s nothing I want more than to be proven wrong. Tapi sampai hari itu terjadi, rasanya saya akan tetap pada pendirian saya.

“Jangan golput, karena suaramu berarti.” Ini juga argumen klasik yang selalu dikumandangkan oleh agen-agen propaganda demokrasi, entah dibayar berapa mereka ini. Bukan saja argumen ini lemah, tapi juga salah secara matematika. Iya, suara kamu berarti dalam pemilihan ketua kelas misalnya, di mana pemilihnya hanya beberapa puluh orang. Tapi dalam pemilu skala nasional, suara kamu tidak lah sebegitu berartinya. Kecuali kamu Ketua NU atau LSM yang bisa membawa ribuan atau jutaan suara pemilih, suara kamu seorang nyaris tidak bernilai.

Dari pileg April 2014 kemarin, tercatat ada 185 juta pemilih yang terdaftar, itu artinya suaramu hanya bernilai 1/185.000.000 saja. Itu bagaikan sebutir gula pasir dalam satu kantung gula seberat satu kilogram. Kalau sebutir hilang juga nggak akan mengubah beratnya. Begitu juga suara kamu, tidak akan menjadi penentu kemenangan siapapun. Jason Brennan juga membahas masalah ini dan memberikan perhitungan matematika dalam bukunya. Menurutnya, jauh lebih tinggi kemungkinan kamu ketabrak mobil dalam perjalanan menuju tempat nyoblos, daripada suaramu menjadi penentu kemenangan capres tertentu.

“Dengan memilih kita sudah ikut memberikan kontribusi pada masa depan negara.” Banyak orang merasa puas ketika nyoblos, merasa bahwa dirinya sudah memberikan sumbangsih pada negara, merasa sudah melakukan tugas sebagai warga negara yang baik. Tapi itu semua hanya masturbasi moral, karena pada kenyataannya nyoblos secarik kertas tidak akan mengubah apapun. Sejak negara ini merdeka hingga hari ini, pemilu hanya menguntungkan kelompok penguasa yang sama, saya menyebutnya Gank L4 (Lu Lagi Lu Lagi). Negara ini adalah oligarki yang berkedok demokrasi.  Pemilu di negara ini adalah sebuah sistem ilusi di mana rakyat seolah punya andil menentukan nasib negara. Gak perlu lah saya jelaskan panjang lebar, karena jelas kamu kan lebih mengerti politik daripada saya.

Sama seperti memberikan uang seribu rupiah pada anak jalanan tidak akan mengubah keadaannya, melainkan hanya membuat kamu puas atas diri kamu sendiri karena telah melakukan sebuah kebaikan. Sama seperti mematikan lampu selama sejam untuk menghemat energi dan melawan global warming tidak akan mengubah apapun, begitu juga dengan pemilu, tidak akan mengubah apapun, tapi, hey, setidaknya nyoblos bisa bikin kamu jadi happy dan merasa menjadi orang baik.

Semua orang berhak untuk merasa puas dengan dirinya sendiri, jadi silakan saja kalau kamu memang ikut pemilu untuk alasan seperti itu. Sama seperti kamu makan permen, manis dan enak di mulut, meski tidak memiliki kandungan gizi apapun dan tidak membuat perut kenyang. Sama seperti masturbasi, orgasme dan nikmat sih, tapi hanya nonton film porno dan elus-elus pakai tangan sendiri. Ya tidak apa-apa kalau kamu suka, masturbasi itu sehat dan menyenangkan kok. Silakan masturbasi sepuasnya.

Tapi kalo kamu gak mau masturbasi dan ingin merasakan kepuasan yang lebih nyata, mungkin kamu bisa melakukan beberapa hal ini: pada tanggal 9 Juli 2014 nanti, daripada nyoblos, lebih baik pakai waktumu untuk traktir orang tua kamu makan enak, kalau kamu tinggal berjauhan dengan orang tua, kamu bisa telpon mereka dan katakan bahwa kamu sayang mereka. Setelah itu kamu bisa sisihkan sebagian gaji kamu yang masih hangat itu untuk didonasikan pada yayasan yang mengurus anak-anak terlantar, lalu sore atau malam harinya kamu bisa ngumpul nongkrong bareng pacar atau sahabat-sahabat kamu dan menikmati hidup tanpa memusingkan orang-orang haus kekuasaan yang tidak pernah memikirkanmu. Itu sih yang akan saya lakukan nanti. Apakah kamu mau ikutan?

Golput forever,

Kei Savourie

109 Comments

  1. Saya memilih tdk mengambil hak suara dlm pemilihan, karena tdk percaya nya pada pemerintahan. Sdh pada korup semua. Mereka sejati nya hanya memikirkan nasib nya atau nasib golongan nya. Omong kosong jika memikirkan Rakyat. Mungkin suara saya akan saya pergunakan utk pemilihan kepala daerah Jakarta (Gubernur). Karena pemimpin yg sekarang, tdk seiman, serta terlalu arogan

    Like

    Reply

  2. pemikiran mu benar sobat… namun ada presiden pun indonesia masih kacau apalagi jika tidak ada presiden bisa bisa dijajah lagi deh indonesia… jadi mau gx mau harus nyoblos calon salah satunya agar indonesia ada peminpinnya.

    Like

    Reply

  3. Golput adalah Hak, Bukan kewajiban. Prinsip Hukum yang berlaku secara Universal adala ” TIDAK ADA HAK YANG DAPAT DIPAKSAKAN” . saya sering divonis tidak nasionalis hanya karena saya menyatakan golput. tapi menurut saya, bayar pajak, tidak melakukan tindak pidana dan melaksanakan kewajiban lainnya adalah bentuk nasionalisme. Nasioanalisme tidak bisa kita berikan ukuran pada proses formalitas saja.

    #GolputAdalahHak

    Like

    Reply

  4. Gue setuju sama lo kei. Golput adalah pilihan, tapi dengan cara kita juga dateng ke tps dan nyoblos dua duanya. Bikin surat suara jadi ga sah. Karena menurut gue itu yg dinamakan golput tapi lo tetap berpartisipasi. Kenapa? Karena kalo lo membiarkan surat suara lo tergeletak disana, akan dibeli sama orang2 yang berkepentingan utk menangin orang yang dia usung.
    Golput adalah ha, hal tsb ga salah dan udah saatnya suara yang golput didengar.

    Like

    Reply

    1. Agak lucu kalau kamu memusingkan tentang satu kertas suara yang bisa dibeli dan disalahgunakan, sementara di kampung-kampung ribuan suara memang dibeli seharga Rp. 30.000 saja..

      Like

      Reply

  5. Kei, yaitu salahnya. Ngarep.
    Seperti yang kamu bilang jangan ngarep, kiss aja.
    Ketika kamu dikecewain lagi dan lagi oleh cewek, kamu belajar dan bukan jadi seorang biksu dan Menjauhi wanita. Kenapa?
    Sama lah, ini kan dikecewain lagi dan lagi, kamu belajar dan bukan jadi seorang golput, menjauhi pemilu. Kenapa?
    Jangan ngarep, coblos aja.

    Like

    Reply

  6. kalau dulu jaman gw kecil, inget main video games..
    ada 2 tipe anak, ada yang seneng cuma liat doang orang main, sama yang pengen gantian ikut main, nah tipe yang gantian main ini yang semakin lama semakin banyak, yang seneng liat aja lama2 nga suka main, biasanya malah melakukan kegiatan lain yang positif tentunya..
    dulu ada pesan moral yang mengena pas gw dibangku kuliah, bahwa sejelek apapun seorang tua, ataupun seorang anak, hubungan yang dimiliki adalah alasan yang tidak dapat di kesampingkan..
    nga mungkinkan kalau misalnya anaknya lahir cacat, dibunuh gitu? terjadi secara nyata, tapi tidak pantas.
    coba kita telaah, kita hidup di indonesia, masalah politik nga mau tau, hmm.. pemimpin mau siapa aja nga mau tau.. tiap ada kebijakannga sesuai mencaci maki..
    i’m not judging you, just what does that sounds like?
    golput is not an option, simply it was a perfect excuse in options, an unperfect option..
    eniwei, kita republik, tapi demokrasi pancasila, walaupun akibat kurikulum sistem pendidikan, entah kemana itu pendidikan pancasila..
    this is also my private thought, i was golput before, but my vote as i see it, is my privelige paying taxes, you’ll get it anyway, use em ( ^-^ )

    Like

    Reply

  7. Mau tanya donk 🙂

    1) mnrt gw, kalopun golput sebisa mgkn tetap nyoblos, bikin kertas suaranya tdk sah krn surat suara yg tdk terpakai nanti bs disalahgunakan.

    2) golput atau nyoblos, tetep aja negara ini dipimpin o/ presiden, siapapun capresnya. gw percaya sama pendapat ahli fiqh “pilihlah mudharat yg paling ringan dr 2 mudharat demi kebaikan”, kedua capres tentu saja banyak kesalahan & kekurangan, tp track record sblmnya bs dijadikan rujukan walopun tdk menggambarkan masa depan (istilah prospektus saham / reksadana)

    3) di dlm islam, msh diperbolehkan awal2 tdk mengetahui ilmu dr suatu ibadah “misal solat”, tp org yg solat tiap hari selama 10 thn tp msh ga tau apa yg blh / tdk dilakukan ketika solat khan ya aneh??? “amal itu hrs diikuti ilmu”. Sama seperti pileg, tentu saja mencari / menggali mengenai capresnya akan sangat baik.

    kalo om Kei mengibaratkan pileg ini sbg masturbasi nasional, gw mengibaratkan nyari jodoh. kalo mau ke jenjang pernikahan, semua ttg pasangan kita akan kita cari tau & pastinya yg terbaik, gmn ke depannya pasangan khan ga ada yg tau. masa mau nunggu pasangan kita nikah ama org lain dulu trus udah 5 thn kita bilang ke pasangan kita (yg udah nikah sama org lain) “kamu sdh terbukti baik, kalo gitu kamu ceraikan dia lalu kita nikah!” ya ga bs gitu khan?? 🙂

    Like

    Reply

    1. 2) Ikut pemilu dengan alasan “memilih yang paling tidak jahat” adalah sebuah kesalahan besar menurut saya, karena seharusnya pemilu diadakan untuk memajukan negara, bukan untuk mencegah agar negara tidak hancur.

      Like

      Reply

  8. Salam jari tengah untuk semua pemimpin yg bobrok, Golput adalah pilihan rakyat yg sudah merasa di dzolimi oleh pemimpin yg slalu mengatasnamakan rakyat

    Like

    Reply

  9. 1000 rupiah untuk anak jalanan, namun ada 1000 orang ngasih maka akan terlihat besar untuk dia.
    1 orang memungut satu sampah, sejuta orang Jakarta akan lebih bersih.
    1 orang menanam satu pohon, sejuta orang maka dunia akan lebih rindang.

    1 suara memang tidak berarti, namun seratus juta orang yang berpikir sama secara kolektif akan mencegah bigger evil dari menguasai negeri ini.

    Sedangkan dalam dunia ini, ya semua tentang harapan, mau itu harapan tulisan anda akan dibaca atau harapan besok anda masih bernafas.

    Like

    Reply

    1. Nyatanya, secara statistik tidak mungkin seratus juta orang berpikir sama. Kalau bisa semudah itu sih, pemilu capres di seluruh dunia tidak perlu mengahbiskan budget begitu besar untuk biaya kampanye dan berusaha mengubah pikiran orang untuk nyoblos partai mereka 🙂

      Like

      Reply

      1. “Golput Adalah Pilihan Terbaik Bagi Saya (Dan Kamu)”, itu statement anda di judul tulisan ini. Berarti anda merasa bahwa yang terbaik bagi semua orang adalah memilih untuk golput. Dari situlah maka saudara Endy di meminta anda kembali memikirkan: apa jadinya kalau semua orang (atau dengan mengandaikan 100jt orang) memilih untuk golput?

        Like

      2. Maaf Kei, menurut saya bagaimana membuktikan seratus orang tidak mungkin berpikir sama secara statistik? Apa dasar asumsinya? Jika pilihan hanya dianggap sebagai kejadian random seperti melempar koin, tentu saja benar bahwa seratus juta orang tidak mungkin berpikir sama. Tapi masalahnya kejadian sosial seperti pemilu tidak bisa disamakan dengan kejadian random dalam statistik. Jadi premismu dalam hal ini salah.

        Premis ini tidak dapat menjelaskan kejadian-kejadian sosial seperti fanatisme masal akibat ultra nasionalisme. Selain itu, seratus juta orang bahkan lebih saat ini meyakini bahwa bumi itu bulat (seperti jutaan orang pernah mempercayai bahwa bumi itu datar di suatu masa). Jadi dalam satu hal, ratusan juta orang dapat berpikir sama.

        Lagipula premis ini menurut saya memiliki kaitan yang lemah terhadap besarnya budget untuk membiayai kampanye. Terlalu banyak determinan yang harus dikendalikan untuk sampai pada kaitan seperti ini. Kenyataan bahwa budget yang diberikan harus sangat besar sangat terkait dengan jumlah masyarakat yang harus diyakinkan, adanya pesaing dari orang lain yang dapat mengubah pendapat ke arah yang berbeda, dll.

        Saya merasa ada cukup banyak asumsi yang anda buat dalam menulis artikel ini. Dalam hal ini saya belum punya waktu untuk membaca secara lebih detil tulisanmu ini. Saya sepakat dalam beberapa hal tapi tidak sepakat dalam hal lain. Salah satu yang menurut saya berbeda dari cara pandang saya adalah kecenderungan anda untuk melepaskan individu dari konteks masyarakatnya, sementara saya percaya bahwa individu tidak mungkin dilepas dari konteks masyarakat. Bahwa individu bertanggung jawab sepenuhnya dengan apa yang akan dia lakukan, saya sepenuhnya sepakat. Tapi konteks bahwa saat ini banyak sisi masyarakat yang tidak memiliki kesadaran seperti ini sehingga dengan mudah dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan tertentu adalah hal lain. Tidak semua individu memiliki kesadaran sekuat anda dalam memilih. Sehingga ada saja orang yang dimanfaatkan suaranya dengan menggunakan fitnah, hasutan, bahkan uang. Inilah yang kemudian ingin dilawan oleh beberapa teman.

        Premis bahwa pengetahuan harus memimpin pilihan tentu sangat saya sepakati. Tapi tuntutan terlalu tinggi tentang pengetahuan baru ‘boleh’ memilih, juga termasuk hal yang menurut saya tidak selalu benar. Justru ini yang seharusnya kita usahakan bersama dengan pendidikan politik pada masyarakat. Bahwa kita harus memilih berdasarkan pengetahuan dan pertimbangan rasional. Jika ternyata masyarakat belum bisa melakukan ini saat ini bagaimana? Mari terus mendidik dan terus berusaha agar usaha kita mendidik ini tidak akan pernah dihentikan oleh pihak manapun.

        Hal lain lagi terkait dengan tesis anda: saya punya kecenderungan untuk menarik sesuatu yang abu-abu ke titik ekstrim untuk menguji kemanfaatannya. Maksud saya begini: Jika semua orang di Indonesia memutuskan untuk tidak memilih (ini kondisi ekstrimnya), maka skenario terburuknya adalah anarki karena tidak akan ada pemerintahan. Skenario yang mungkin lebih baik adalah, karena money politics, orang-orang yang punya uang kemudian menguasai negara dan begitu seterusnya karena orang-orang tidak ada yang memilih. Sehingga negara tidak mungkin berubah. Tapi kalau semua orang di Indonesia memilih, dan dengan asumsi kita tetap menjalankan pendidikan politik, maka suatu hari suara pemilih akan bergerak pada orang yang memiliki kompetensi dan karakter yang memang mampu memilih. Dalam hal ini rakyat sebagai agregat tetap memiliki kekuatan untuk mengarahkan kebijakan negara. Ini tidak akan pernah tercapai jika terjadi 100% apatisme. Jika yang terjadi adalah 100% kontribusi, maka paling tidak kemungkinan ini untuk terjadi tetap ada. Ini salah satu yang mendorong saya menggunakan pilihan saya.

        Kalau pilihan salah, tidak apa-apa kita punya kekuatan untuk mengubah situasi ini 5 tahun lagi. Sambil mencermati adakah yang layak dipilih. Jika kita salah lagi? Tidak apa-apa, paling tidak kita melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Pertanyaannya adalah bagaimana jika kita memilih dengan benar? Dan orang yang benar ini menang? Kemudian mengubah keadaan lebih baik?

        Analogi anda dengan pasangan yang abusive juga tidak tepat dalam beberapa hal. Pasangan yang di-abuse memiliki harapan yang tidak realistis terhadap pasangannya didasarkan pada fakta-fakta bahwa pasangan yang sama ini akan bisa berubah. Meskipun secara psikologis harapan ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, sejauh ada USAHA yang dilakukan untuk melakukan perubahan termasuk didalamnya konseling atau terapi. Nah dalam kasus pemilihan legislatif atau presiden, Tentu saja kita akan menjadi pasangan yang diabuse jika kita TIDAK MELAKUKAN APA-APA. Maka sangat tidak masuk akal jika kita mengharapkan perubahan. Tapi jika kita gigih melakuan pendidikan pada masyarakat, maka harapan ini bukan harapan palsu. Tentu tidak akan berubah dalam sekejap, tapi akan berubah suatu hari nanti jika kita tetap gigih berjuang.

        analogi anda dengan pasangan abusive ini juga keliru menurut saya dalam hal bahwa dalam hal pasangan yang abusive, yang mengabuse adalah orang yang sama yang kemudian diasumsikan tidak akan berubah (meskipun di atas saya buktikan bahwa asumsi ini tidak selalu benar). Sementara dalam pemilihan presiden, yang mengabuse adalah sistem kompleks yang diterapkan oleh orang yang berbeda-beda. Dan masih tetap ada kemungkinan bahwa orang yang berbeda akan membuat sistem yang berbeda. Ini sebabnya beberapa orang menganggap satu pasangan lebih baik dari yang lain, karena melihat bahwa orang ini memiliki ketidaksamaan dengan sistem yang berjalan hingga saat ini. Bahwa kita bisa saja tertipu, tentu saja benar. Tetapi mungkin setelah berkali-kali tertipu dan belajar, saya yakin lama kelamaan kita akan menjadi pemilih yang lebih cerdas dari sebelumnya. (Secara subjektif saya melihat perkembangan ini, meskipun belum pada taraf yang memuaskan. Saya bisa melihat bahwa saat ini makin banyak pemilih yang meminta alasan-alasan rasional sebelum mendukung calon tertentu. Ini perkembangan yang menggembirakan meskipun mungkin masih jauh dari kondisi ideal demokrasi).

        Nah masalahnya menurut saya (ini bias pandangan saya pribadi), salah satu yang melanggengkan sistem yang kompleks itu adalah apatisme pemilih. Dengan tidak memilih, mungkin itu yang diharapkan oleh sistem yang berjalan sekarang sebenarnya, maka sistem yang lama ini tetap dapat menancapkan kuku kekuasaannya dengan leluasa karena tidak ada partisipasi dari orang-orang yang bisa mengubah arah. Ini adalah kekeliruan analogi anda juga. Dalam kasus pasangan yang abusive, harapan yang tidak realistis membuat sistem yang abusive bertahan, tetapi dalam kasus pemilihan presiden atau legislatif yang terjadi sebaliknya. Tidak adanya harapan yang membuat sistem yang abusive ini bertahan hingga sekarang. Dalam kasus yang pertama, harapan menumpulkan usaha (jika saya mengikuti analogi anda), sementara dalam kasus kedua tidak adanya harapan lah yang menumpulkan usaha.

        Ketidaksepakatan saya yang lain dengan tesis anda: Pilihan anda tidak akan membuka peluang terjadinya perubahan sistem. Mungkin saya keliru, tetapi yang saya bayangkan adalah pilihan tidak memilih tidak akan memberikan dampak pada sistem ini. Sistem tidak akan berubah dengan tidak memilih. Probabilitas terjadinya perubahan ini nihil. Sementara memberikan suara pada pemilihan presiden membuka peluang terhadap perubahan. Bukan tidak mungkin perubahan terjadi ke arah yang lebih buruk, tetapi saya pribadi memilih terbukanya kemungkinan ini dibandingkan menutup kemungkinan sama sekali terhadap perubahan.

        Saya sepenuhnya sepakat bahwa pendidikan (kesehatan dan kesejahteraan minimal) merupakan syarat demokrasi. Namun demikian, kita tidak bisa menunggu hingga keadaan ideal ini tercapai. Karena seperti tesis saya di atas, dalam pandangan saya tidak mungkin keadaan berubah jika apatisme sangat besar. Karena yang lagi-lagi bermain adalah sistem yang lama.

        Saya berharap anda memahami bahwa saya tidak sedang menghakimi pilihan anda. Saya sedang ‘menukar’ pikiran saya dengan anda yang kebetulan ada beberapa hal yang belum masuk ke skema pemahaman saya. Saya pikir dasar awal pemikiran saya sama dengan anda, tetapi alur prosesnya yang kemudian berbeda sehingga menghasilkan kesimpulan berbeda.

        Like

      3. Wow! Terima kasih sekali sudah meluangkan waktu untuk menuliskan pemikiran Anda dengan panjang lebar. Saya sangat senang membacanya. Komentar seperti Anda ini yang bisa sedikit memulihkan kepercayaan saya pada bangsa ini. Saya tidak bisa membalas panjang lebar karena nanti bisa jadi satu artikel sendiri hahha, tapi ada satu hal yang ingin saya klarifikasi atas komentar Anda:

        Anda bilang banyak asumsi dalam tulisan saya, dan itu memang benar. Tulisan ini adalah opini saya pribadi, uneg-uneg saya, curcol saya, dengan sedikit data dan fakta dari berbagai sumber yang pernah saya baca untul mendukung argumen saya, karena itu memang isi artikel ini sangat subyektif dan tidak dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah 🙂

        Like

      4. Bisa bila diarahkan. Hasil pemilu nanti adalah kombinasi dari output dari mesin partai + sosok yang dipilih + Rasio kolektif masyarakat.

        Saya pribadi memilih untuk mencegah kekuasaan yang lebih berbahaya menjadi presiden. Dan karena kebetulan saya anggota pemuda, maka sedikit banyak pilihan saya ikut menentukan pilihan para anggota lainnya.

        Like

  10. Blog ini sangat mengena banget Kei. Terima kasih. Saya seolah-olah mendapat literatur/jurnal hasil penelitian ilmiah yang mendukung pendapat saya bahwa untuk menjadi golput pada pemilu negara kita ini merupakan pilihan yang masuk akal dan cerdas.

    Like

    Reply

  11. “Yang saya bisa lakukan saat ini hanyalah mengajak orang berpikir dan membuka mata, karena banyak orang sepertinya terlena dengan ilusi bahwa negara ini baik-baik saja. Mengetahui masalahnya adalah langkah awal menemukan solusinya, dan itu yang saya lakukan selama ini: blak-blakan ngebuka sakitnya negara ini.”

    Padahal tadi mau mempertanyakan solusi dari masalah-masalah, tapi udah dijawab di komentar hahaha.

    Kei, saya udah baca postingan ini dua kali. Kali pertama mungkin yang kamu sebut dengan “membuka mata”. Nah yang kedua, saya mencari solusi. Jadi saya bingung deh. Tolong pencerahannya dong 😀

    Like

    Reply

    1. Kalau untuk masalah solusi, kita secara individu tidak punya kuasa yang cukup besar untuk memberikan solusi bagi negara yang sangat besar dengan permasalahan yang begitu rumit ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah memberikan solusi bagi diri kita sendiri.

      Like

      Reply

  12. Bro Kei, Saya suka reply comment u yang ini :

    “Untuk saat ini saya hanya bisa memberikan kontribusi di level personal untuk orang-orang di sekeliling saya saja: keluarga, teman-teman, karyawan, dan murid-murid saya. Mungkin memang tidak akan mengubah nasib bangsa, tapi paling tidak itu lebih nyata daripada nyoblos”

    Betul sekali Kei! Kontribusi itu harus nyata jangan cuma ilusi!

    Tidak tepat hanya dengan mencoblos 1 kertas suara bisa jadi modal mengkontribusi, menentukan, memperbaiki nasib bangsa kalau nasib pribadi, keluarga, orang terdekat kita belum bisa kita atasi … yang riil riil saja …

    JIKA ADA 2 PILIHAN TERSEDIA, ADA PILIHAN LAIN YANG TERSEDIA PULA … ORANG GOLPUT SEPERTI SAYA & ANDA & mungkin yang lain ADALAH ORANG BISA BISA MELIHAT PILHAN LAIN SELAIN OPSI YANG ADA DI DEPAN MATA KITA.
    PEACE!

    Like

    Reply

  13. you have make a choice and make a stand…. itu termasuk memilih….

    gw gak bisa maksa lu utk memilih dan begitu juga sebaliknya.

    semua juga tahu ttg sakitnya megeri ini…. banyak merasakan yg lo juga rasakan….

    apakah indonesia bisa lebih baik? mungkin iya dan mungkin tidak.

    apakah satu suara bisa mempengaruhi? tergantung dari sisi pandang siapa dulu…

    and in the end…. everybody always hope for the best… dari sejak lahir sampai dewasa……

    can’t we hope the best for our country?….

    the answers lies in each everybody’s heart.

    🙂

    Like

    Reply

  14. analogi NYOBLOS dgn di sakiti pria itu sangat berbeda . analogi yang tepat adalah jika wanita trus mendapat pasangan yang buruk , apakah dia harus putus asa dan kehilangan harapan mendapat kan pasangan yang baik

    pemilu analogi nya seperti itu , apakah hubungan antara kita NYOBLOS dgn di eksploitasi ??? emang dgn anda memberikan suara , anda rugi ? engga kan . anda akan rugi jika yang menjadi presiden nanti adalah presiden yang buruk , maka anda mengalami apa yang wanita itu alami .

    presiden yang akan terpilih nanti analogi nya ya seperti PRIA jahat yang anda contohkan tadi . gara2 anda GOLPUT akhirnya yang terpilih adalah org jahat yg suka menyogok org2 , menyuap .

    jadi anda GOLPUT pun , anda akan tetap mengalami sperti wanita tersebut

    jika anda menjadi wanita tersebut ya anda harus meninggalkan pria yg lama dan MEMILIH yg terbaik .

    NYOBLOS itu soal kita mengambil keputusan dan sebagai SIMBOL utk tdk lagi menginginkan presiden yg trus menyakiti kita.

    jika anda trauma NYOBLOS krn pernah di sakiti , ini sama sperti wanita yang di sakiti pasangan nya berbicara : ” memang smua pria itu bangsat ” lalu dia memilih utk jadi perawan tua dan tidak lagi jatuh cinta dgn pria manapun .

    jika anda trauma maka anda tidak akan pernah bisa melihat kebaikan seorang pemimpin manapun .

    anda sbenarnya paham soal wanita , tp soal politik anda seperti wanita yang trauma dan memutuskan utk menjadi perawan tua dan manipulatif thd pria2 yg baik

    Like

    Reply

    1. Apabila yang menang adalah capres yang tukang korupsi dsb, itu bukan karena ada orang-orang yang golput. Kesalahan ada pada sistem yang membiarkan orang-orang korup bisa nyapres.

      Like

      Reply

  15. Sama kei, pileg kmrn aku jg golput kok. Dan kenyataan mrk yg udh jd caleg beda tipis kyk pengemis. Nyesek liat kenyataannya. Dan utk pilpres ini gk ada semangatnya jg. Ibaratnya lg di pdkt-in cowok tp gk punya chemistry haha. Tp kalo nanti selama 5 th ke depan salah satu capres menunjukkan perubahan yg positif utk indonesia, maybe next pemilu kalo dia nyalonin lg saya pilih deh 😉

    Like

    Reply

  16. Golput bagi saya karena simply, dalam visi dan misi mereka berempat belum ada yang menjelaskan dengan rinci bagaimana semua bacot mereka eh maksudnya visi misi mereka akan direalisasikan. Selain niat, waktu, apalagi sih yang diperlukan? DANA bukan? duit, hepeng, bukan? Darimana negara dapat duit? Silakan saudara-saudari cermati di APBN negri ini, google aja pasti ketemu. Hingga sekarang, APBN kita selalu dibuat DEFISIT, kurangnya pasti tidak turun dari visi misi kan? Pasti dari hutang. Sedangkan satu-satunya penerimaan yang masih bisa digenjot adalah hal yang paling kita benci, iya PAJAK. Mari berpikir, buat saya dan mungkin anda para orang menengah, pajak itu lumayan memberatkan (saja) dan paling kalopun kita ngutil ngumpetin pajak gede-gedenya cuma buat nraktir makan di Sushi Tei sama sekeluarga, tapi bagi orang kaya, menghindarkan pajak itu bikin masuk majalah forbes bro!.

    Like

    Reply

  17. gue setuju dengan pemikiran kei, karena menurut gue orang2 yang mendukung capres no 2 kalau kita lihat kebanyakan adalah orang2 tidak berpendidikan, orang2 kampung yang dikunjungi saat dia blusukan, orang2 yang kurang pengetahuannya akan politik di negeri kita, orang2 yang terpesona dengan bagaimana hebatnya dia membuat pencitraan atas dirinya yang belum ada 5 tahun mengurus dki jakarta.
    sedangkan capres no 1 lebih banyak berita2 negatifnya dibandingkan no 2, lihat betapa hebatnya capres no.2 dengan pencitraannya, orang2 yang begitu fanatiknya dengan no.2 sampai2 mereka begitu sensitifnya dengan berita2 ttg capres no.1.
    please be smart people!
    emang bener banget kata kei, seharusnya pemilih adalah orang2 berpendidikan dan benar2 menegerti tentang politik sehingga presiden kita yang terpilihnya nanti bukan karena dia TERKENAL dan hebatnya PENCITRAANNYA.
    Bukan karna gue ga mendukung capres no.2 tapi sejujurnya saja, tidak satupun dari mereka yang gue rasa cocok menjadi presiden kita nanti!
    Salam Golput!

    Like

    Reply

  18. intinya sih jelas , kalo pemilih yg NGERTI politik ada baiknya NYOBLOS utk setidaknya bs menambah suara utk pemimpin yg benar

    Nah tulisan ini cocok utk di sebarin buat PEMILIH yg ga PAHAM politik

    Jgn kita yg PAHAM politik harus GOLPUT hanya gara2 nasib bangsa ini ada di tangan pemilih yang BODOH

    jangan sampai kita menyerah sebelum berperang hehehe

    LAIN perkara jika suara kita di manipulasi pihak2 tertentu maka GOLPUT jadi pilihan terbaik haha , karena percuma milih kalo suara kita di manipulasi

    Like

    Reply

    1. Manipulasi selalu ada dalam tiap pemilu di seluruh dunia sepanjang sejarah. Itu juga salah satu alasan kenapa saya golput dan tidak mau berpartisipasi dalam hal ini..

      Like

      Reply

  19. hanya org yg tidak waras yang ikut nyoblos, hanya org goblok yg datang k tps…tapi alangkah lebih tolol lagi org yg membiarkan indonesia dikendalikan Dan dikuasai oleh kafir,kristen,komunis… Indonesia dikuasai islam umat lain bebas beribadah,,tapi indonesia dikuasai kafir,kristen,komunis umat islam akan d hancurkan Dan akhirnya islam hanya tinggal nama …

    Like

    Reply

  20. no need argueing hahahaha smuanya kan bebas2 aja berpendapat, berharap, bahkan bermimpi ya gak? kei gak salah klo doi apatis sm para leader di indo, dan yg masih berusaha dalam kasih suara n dukungan juga gak salah. semuanya benar yg salah yg korup bro. make peace everytime

    Like

    Reply

  21. Semua warga negara mempunyai hak untuk mengeluarkan suaranya dalam menentukan pemimpin mereka. Jika seorang warga negara harus memenuhi kualifikasi tertentu baru bisa mengeluarkan suaranya, maka suara yang dihasilkan merupakan suara golongan terpilih tertentu ( golongan yang memenuhi kualifikasi ), bukan suara keseluruhan rakyat indonesia. Jadi kalau sistem itu diterapkan, secara tidak langsung anda sudah merampas hak mereka untuk mengeluarkan suaranya dalam pemilu.

    Mengenai pemimpin yang baik ataupun buruk yang terpilih, hal itu tidak dapat dielakkan karena merupakan cerminan dari bangsa itu sendiri. Kalau seluruh warga negaranya bodoh dan memilih pemimpin yang buruk, itu resiko yang harus diterima yang merupakan buah dari kemerdekaan menyatakan pendapat.

    Untuk memperbesar chance terpilihnya pemimpin yang baik, tanggung jawab kita sebagai warga negara yaitu membangun kesadaran kolektif agar masyarakat bisa lebih cerdas dalam memilih, bukan memangkas hak mereka untuk mengeluarkan pendapat dengan membangun sebuah sistem kualifikasi tertentu.

    Like

    Reply

  22. Coba nntn dulu simboru (symbol) film jepang ,, kykny cocok untuk membalikan pikiran lo kei ,,orang tidak akan mempercayai apa yg dia tidak igin dipercayainya sih ,,semoga harapan gw kedepan indonesia bs menyentuh $10000 pendapatan per kapitanya..

    Like

    Reply

  23. Pendapat dan argumennya OK. Tapi akhirnya lo adalah orang di luar yg duduk tenang melihat pertunjukan. Sayang sekali bro.
    Atau lo memang sudah ada pikiran harus bagaimana sistem negara yg seharusnya. Atau gimana cara bubarin negara ini.
    Memang pilihan sih. Semua adalah pilihan, peduli atau tidak peduli, bertindak atau diam. Cuma, with a brain like you, and a will of a true militant. Come on, give us something. Something to hope for.
    Gue bukan orang yg sepikiran sama lo. Gue setuju sama menkominfo. Tapi gue juga menghujat menteri agama. Gue juga pengen bangsa ini lebih baik. Gimana caranya? Gue selalu menantang diri gue untuk berpikir gimana caranya. Gue kesel sama keadaan yg ancur ini. Masa lo ga kesel, ga tergerak. Malah menyerah diam aja.
    Gue memilih karena gue masih ngarep. Punya harapan. Analogi ngarep disini sama ngarep ke lawan jenis ga bisa disamakan, lo tau itu. Beda lah kalo milih yg satu perusahaan migas tempat gue kerja bakal tetep jadi perusahaan cina, tapi kalo milih yg satu bakal jadi perusahaan minyak nasional. Harapan gue nyata. Jauh dalam hati lo, gue yakin juga ada.
    Intinya ini gue tantang lo untuk kasih ide gimana caranya benerin negeri ini, apa kita diam aja terus? apa kita ga usah bernegara, caranya gimana?
    tapi tetep akhirnya ini pilihan lo. Apapun yg lo pilih dan lakukan sah-sah aja. Gue cuma menyayangkan.

    Like

    Reply

    1. Kamu melakukan apa yang menurut kamu baik, dan saya melakukan apa yang menurut saya baik. Bagaimanapun juga kita semua terperangkap di negara ini. Yang saya bisa lakukan saat ini hanyalah mengajak orang berpikir dan membuka mata, karena banyak orang sepertinya terlena dengan ilusi bahwa negara ini baik-baik saja. Mengetahui masalahnya adalah langkah awal menemukan solusinya, dan itu yang saya lakukan selama ini: blak-blakan ngebuka sakitnya negara ini.

      Like

      Reply

      1. it’s true kei , km melakukan apa yg kamu suka . tp kenyataan nya saya melihat kamu berusaha membuat orang menyukai apa yang kamu suka 🙂

        memang kita terperangkap ilusi politik negara ini , tapi utk pemilu kali ini saya melihat setitik HARAPAN

        awal nya saya GOLPUT militan , saya gak peduli akan smua urusan negara karena smua PALSU , DI MODIFIKASI , ILUSI , SEMUA MUNAFIK

        tapi hanya kali ini saja saya melihat adanya HARAPAN

        memang negara kita tidak ada harapan tapi kita jangan kehilangan harapan .

        selama SUARA kita tidak di modifikasi dan ada pengawasan ketat , harapan akan perubahan itu ADA

        saya melihat kamu bisa memberikan secercah harapan bagi kaum pria yang desperate , terperangkap dalam ilusi CINTA . saya berharap tulisan kamu yang akan datang adalah tulisan yang memberikan harapan

        Like

  24. This is what I Love most about Kei. Kei itu hanya bukan sekedar bisa “cuap-cuap” like most ppl said. Bahkan, gw sendiri lebih senang kalau Kei itu bahas politik
    Sbg salah satu mahasiswi FISIP gw sgt tersanjung *halah*
    Entah itu berbicara tentang romansa maupun politik, Kei ini selalu memberikan argumen yg kritis dan cerdas, bahkan tdk jarang dilengkapi dgn bukti ilmiah. Komentar ini bukan semata-mata utk memuji Kei. namun, ini lebih kepada para readers yg lain. We need more people like Kei to make this world a better place. Don’t you agree? 😉

    Like

    Reply

  25. “Kalau saya boleh berharap, harapan saya adalah agar saya salah. There’s nothing I want more than to be proven wrong.”

    Saya suka sekali kalimat ini. Tulisan yang bagus! 🙂

    Like

    Reply

  26. Dulu saya golput.
    Alasannya, hampir sama dengan poin poin yang ditulis diatas. Saya tahu kalo begitu kita udah berpendapat, hampir nggak mungkin kita mau berubah pikiran. Ada gengsi disana. Dan saya juga tidak berniat merubah pendirian penulis.
    Alasan saya dulu golput, karena benar, mayoritas pemilih mempelajari siapa yang akan dia pilih. Dan walaupun iya, memilih calon yang memiliki hubungan emosional kepada pemilih (contohnya berasal dari koya yang sama). Terpilih pun sistem yang terjadi bukanlah perwakilan suara rakyat melainkan kepentingan partai. Yang memiliki suara terbanyak yang menang. Ini bukan demokrasi saat terjadi voting. Ini penindasan terhadap minoritas. Banyak sekali hal yang membuat saya golput.

    Kemudian saya baca kasus Presiden Afrika Selatan. Dia dipilih hanya karena dia berkulit hitam. Walaupun yang dia lakukan adalah pembodohan dan penjajahan terhadap rakyatnya sendiri. Kenapa dia terus yg terpilih? Karena para pemilih mayoritasnya tidak terdidik. Mereka takut apabila mereka tidak memilih Capres yg diusulkan oleh partai dengan basis berkulit hitam, apartheid akan dijalakan lagi.

    Saya yang dahulu apatis terhadap arti dari satu suara. Terhadap partai-partai politik sebagai “beking” dari para caleg dan capres itu. Saya golput dan berharap jumlah golput akan menjadi signifikan. Itu bentuk protes saya terhadap sistem yang tidak pas ini.
    Lantas saya berpikir. Kalau orang orang yang berpendidikan tidak mau turut serta dalam proses pemilu, lantas apa kontribusinya? Percayalah, golput bukan sebuah kontribusi. Karena pesan yang tersampaikan bukan kepedulian melainkan sebaliknya.
    Saya yakin penulis adalah orang terdidik yang peduli. Tapi kepedulian sekali lagi tidak tersampaikan dengan mengajak orang yang berpikir untuk menjadi golput. Orang yang peduli dapat merubah kekuatan 1:185 juta menjadi 100%. Seperti halnya penulis mengajak para calon pemilih untuk menjadi golput, mengapa tidak mengajak orang yang “tidak berkapasitas” untuk menjadi berkapasitas untuk memilih?
    Dari 30% tadi, ada banyak sekali Cendekiawan yang berpikir untuk sisanya dengan menyebarkan buah pikiran mereka. Logika mereka. Seorang cendekiawan yang telah menjadi panutan, seorang Guru Besar, tokoh masyarakat. Mereka orang yang juga mewakili suara rakyat yg diwakilinya. Ini terjadi karena DPR dan MPR gagal mewakili suara masyarakat dalam menetapkan UU atau memilih Presiden. Juga terjadi karena alasan latar motivasi pemilih.
    Coba bayangkan apabila orang-orang tersebut mengajak masyarakat yang diwakilinya untuk golput? Bukankah presentasi suara dari pemilih yang tidak kompeten akan bertambah banyak.

    Saya belum memiliki kapasitas untuk mengajak masyarakat menyelidiki para calon presiden atau caleg yang dari sekedar “karena dia orangnya sederhana” atau “karena dia didukung oleh partai-partai seagama”. Yang bisa saya lakukan adalah untuk melakukan peran saya. Yang nilainya cuma 1:185 juta itu ????. Tapi saya usahakan semampu saya untuk dapat memilih siapa yang akan lebih baik mewakili saya, memimpin negeri saya.
    Karena walau satu banding seratus delapan puluh juta, itu kekuatan yang ingin saya maksimalkan dan saya pergunakan. Naif ya? Tapi saya harap semua orang akan bertindak demikian. Banyak sekali teman saya yang kebingungan sebelum pemilu, berjuang sepenuh tenaga hingga mereka berdoa kepada Tuhan supaya diberi petunjuk.

    Hingga sejauh itu kekuatan satu suara. Yang hanya 1 : 185 juta. Tapi mereka berbangga. Karena mereka melakukan peran mereka, kewajiban dan jatah mereka.

    Saya tidak berharap merubah pendirian penulis, tapi saya berharap penulis dapat lebih menghargai pilihan warga negara yang akan memilih. Yang mempergunakan kekuatan satu per seratus delapan puluh lima juta itu sekuat tenaga mereka. Hargai kami.

    Liked by 1 person

    Reply

    1. Komentar seperti kamu ini yang saya harapkan ketika menulis entri ini, karena dengan begitu kita jadi berdialog dan bertukar pikiran. Terima kasih telah meluangkan waktu menuliskan pikiran kamu panjang lebar di sini, komentarnya sangat menyentuh hati dan saya sangat menghargainya. Tentu saja saya juga ingin Indonesia jadi lebih baik, tapi untuk saat ini saya belum bisa melihat bagaimana nyoblos akan memberikan kontribusi ke arah sana.

      Untuk saat ini saya hanya bisa memberikan kontribusi di level personal untuk orang-orang di sekeliling saya saja: keluarga, teman-teman, karyawan, dan murid-murid saya. Mungkin memang tidak akan mengubah nasib bangsa, tapi paling tidak itu lebih nyata daripada nyoblos.

      Like

      Reply

    2. Golput emang bukan kontribusi tapi apakah anda yakin org yg milih golput cm diem2 aja?

      Sekarang drpd ikutan pemilu coba org2 cendekiawan itu bangun 1 pembangkit listrik di kalimantan/sumatra, sepertinya hasilnya akan lebih nyata drpd sekedar “nyoblos”

      Like

      Reply

  27. Hahaha percis kayak yang gw rasakan. Tapi gw belom nentuin akan golput atau milih siapa. Sejauh ini bersikap manis ajalah sama yang promosi capres. Argumen apapun nggak akan mempengaruhi, kecuali tentu yang menyenangkan mereka. Lama-lama orang2 udah kayak supporter bola, nggak rasional.

    Like

    Reply

  28. Memilih atau tidak memilih adalah hak,tapi hal tersebut juga harus didasari landasan yang kuat dari diri sendiri kenapa memilih atau tidak memilih,bukan karena didasarkan ikut2an,figurnya dan hal2 bego lainnya…# btw ane setuju sama kei 🙂

    Like

    Reply

  29. Haha.. sepakat Kei. Kampanye basi. Buktiin dulu dia bagus, klo 5 tahun kedepan kinerjanya oke saya rela deh pulang kampung demi nyoblos dia (siapapun presidennya) periode berikutnya.

    Like

    Reply

      1. kenyataannya adalah sangat-sangat kecil kemungkinannya semua orang golput.. Orang-orang L4 punya banyak massa.. contohnya..

        Like

      2. g dulu jg kepikiran golput. tp saat tau suara g yg golput bisa disalahgunakan g ga ada kepikiran untuk golput lg. untuk ngerubah negeri yg sudah terlalu bobrok ini emg ga gampang. dan calon kali ini ada kekurangannya masing” yg satu masa lalunya kelam yang satu isu jd boneka. dan seperti ko kei bilang kita terperangkap di negara ini. kalau memamg begitu setidaknya kita jangan diam dan menjadi cuek. partisipasi sebisa mungkin. krn dengan membiarkan suara kita dipakai oleh oknum” tdk bertanggung jawab kita membiarkan negara ini makin parah

        Like

  30. saya setuju dengan pendapat untuk Golput Kei 😀 , bahkan saya Golput saat Pileg keamrin gara2 baca dan setuju twit Kei tentang Golput, menganggap semua bulshit, kenal juga kagak , toh hasilnya sama.

    asumsi saya siapapun pemimpinnya . hasilnya kan sama saja, toh selama ini tidak ada perbaikan , janji2 manis mereka akan menjadi sekadar janji saja. semua calon sama sama BURUK.

    namun untuk pilpres ini saya mengadakan modifikasi pendapat saya. saya sebenarnya akan golput kalau diantara 2 calon tidak menjadi calon presiden. namun kenyataanya salah satu dari mereka yg akan jadi orang berpengaruh di negeri ini mau tidak mau akan memimpin. kalau Kei bilang pilih makanan yg bikin alergi atau sakit perut ya saya pilih yang paling tidak sakit. karena toh kita akan tetap menerima dan memakan salah satu. oleh karena suara kita yg 1 buah tidak berarti, maka dari itu saya berusaha agar pilihan cara saya sakit menjadi pilihan orang lain juga dengan mengajak dan mengemukakan pendapat, walaupun kebanyakan sekarang adalah voters yg sudah terafiliasi. tapi tidak ada yg tahu kalo ada swing voters juga di sekitar kita. do the best aja saya mah.

    saya tidak pernah reply twit Kei, namun saya pengamat dan rajin loh buka twitter mu 😀 lewat ini saya sampaikan rasa kagum terhadap pemikiran mu yg out of the box , dan tidak lupa mau nyampaikan kalau saya adalah secret admirer Koh Kei dalam hal Romansa 😀
    makasi Koh …

    Like

    Reply

  31. Aku suka pendapatmu ini kei, dari dulu juga suka kalo kamu bahas politik. Setuju banget pasti. Ga ngerti harus gimana biar negara ini bisa maju. Sering banget klo punya duit banyak pngn pindah negara. Haha. Tp setelah sering ngliat si prabowo dg gaya cinta tanah airnya, ada sdikit motivasi lewatt dia indonesia ada perubahan yang lebih baik, tanpa mandang agama, ras atau apapun. Semoga benar, kalo jauh dari harapan yg diinginkan, pasti aku bakal kyk gini kei, muak dg para penguasa, pemerintah, penjajah negeri sendiri.

    Like

    Reply

  32. Bagi kebanyakan rakyat yang kurang cerdas dan merekq yang tidak punya kpentingan tidak terlalu peduli dengan hasil pemilu dan sebenarnya tau siapapun presidennya gak bakalan merubah apapun yang signifikan. Setelah menonton debat capres keliatan sekali bhw Jangankan pemilihnya capresnya sama2 gak ngerti apa2 ttg pengelolaan kenegaraan beda banget debat obama dan john mccain thn 2008 silam yg emang lumayan mengerti esensi manajemen negara. Kalo buat gua

    1. Pilih mana presiden bengis atau presiden bego . Gua pilih presiden yg baik dan cerdas tapi pilihan itu tidak tersedia

    2. Pilih mana presiden preman atau presiden boneka. Gua pilih presiden bijak dan berintegritas tinggi tapi pilihan itu tidak tersedia
    3. Pilih mana tai kuda atau tai anjing. GUa pilih nggak mau tai. Tapi pilihan itu tidak tersedia

    3. Pilih mana

    Like

    Reply

  33. Bagus banget artikelnya Kei. Aku selalu suka sama pemikiran kamu yang orang anggap pendapatmu membawa hal yang buruk, bagi mereka (padahal kan hak kita buat ngasih pendapat). Memang semua hanya permainan orang2 yang berkuasa. Bahkan media massa juga tidak bisa jadi patokan kita untuk bisa tahu siapa capres & cawapres kita (karna pemiliknya digaet sama parpol). Masyarakat kecil jadi makin termakan oleh semua kebohongan publik yang dibuat oleh media. Bahkan sampe sekarang aja aku masih nggak tau milih siapa, karna menurut aku, hanya 0,000…1% orang baik dalam politik & pemerintahan. Sisanya iblis semua. By the way, aku boleh share link blog-nya yaa ke akun Path-ku. Ya ya ya? *Belom share kalau belom dapet ijin* 😀
    Salam golput! Xoxo

    Like

    Reply

  34. hahaha di komen atas ada pendukung wowo
    tangan sih uda gatel pgn ngajak debat tp ya sudahlah gakan beres

    kei, artikelnya ok ,,,, tp tambahin lagi donk link2/data sumbernya gitu biar makin sip gw sebarin
    kalo bisa isi twit lu yg dulu2 soal golput jg masukin deh

    Like

    Reply

  35. Banyak yg belum tau ko kalau pemilu itu hak bukan kewajiban Dan ketika aku menyinggung tentang pengertian “hak & kewajiban” banyak juga yg masih planga-plongo “ah! Ribet amat, gak usah ribet-ribet deh mending nyoblos aja Jangan golput” Dan yg lebih lucunya lagi ada juga yg bawa-bawa & mengatas namakan “Agama” ternyata orang-orang kita ada juga yg pemikirannya seperti itu. Apa yg koko tulis semuanya benar, pendidikan di Indonesia itu belum bisa dikatakan layak & memadai. Totally agree with you ko kei :*

    Like

    Reply

  36. Terima kasih Koh Kei.. Udah nyadarin saya untuk tetap golput lagi. Umur saya sudah 24thn, seumur-umur belum pernah rasain nyoblos. *kecuali nyoblos pacar ^_^)* udah lupain. Untuk tahun ini sempat bimbang, mo ikut nyoblos buat capres Ndeso karna ntr takutnya negara ini dipimpin sama si penjahat HAM dan antek-anteknya yg lulusan Orba. Tapi setelah baca artikel Koh Kei membuat saya untuk semakin kuat golput. Terima Kasih Kei.

    Like

    Reply

  37. pemikiran kita sama ko

    g ada jaminan dengan memilih salah satu dari capres yang terdaftar indonesia bakal berubah
    dan gue bisa bilang kalo gue g punya kapasitas jadi pemulilih yang baik

    Like

    Reply

  38. Gw setuju sm pendapat lo ttg golput ini Kei..
    Kita “berhak memilih” siapapun capresnya, dan tentunya gak memilih pun jg merupakan suatu pilihan..
    😉

    Like

    Reply

  39. tapi kei, menurut pandangan gue sih ya, gue liat, cuma prabowo, satu2nya calon yang punya visi misi yang sama. dari cara berbicaranya, cara sikapnya, bener2 orang yang ingin terjadi perubahan besar pada negara kita Indonesia. mungkin, seperti ente orang kecil yang udah muak dg keadaan Indonesia. tp si prabowo ini bukan orang kecil. sehingga ia punya kekuatan besar, untuk membuat dana negara, dialirkan kepada jalan yang seharusnya. gue dukung prabowo tidak berdasarkan agama, atau etnis, tp dari bagaimana dia memiliki etika, dari tayangan debat capres, komentar ahmad dhani yang selalu blak2an dan gak suka bohong2. tp gue liat lo punya sedikirt banyak kekuatan untuk menggerakkan masa. jadi, menurut kaca mata gue yg mungkin saja salah. dengan apa yang lo punya, lo bisa berkontribusi untuk merubah bangsa ini. dengan mengajak orang2 untuk memilih pak bowo. gue cuma berusaha aja. gue gak masalah sapa yang pimpin Indonesia mau cina, beda agama, dll. yang penting Indonesia itu berjalan pada sistemnya. disetir oleh orang yang memiliki hati. semoga bermanfaat, dan semoga pak prabowo bisa jadi presiden. kalo jokowi jadi presiden, perubahan cuma kecil, gak segede pak bowo. semoga bisa dijadikan bahan pertimbangan. thx!

    Like

    Reply

    1. Ya kalau memang nanti setelah jadi presiden semua janji-janjinya terbukti, di pemilu berikutnya saya akan kerahkan semua pengaruh saya untuk mendukungnya. Tapi sebelum janjinya terbukti, saya tetap golput.

      Like

      Reply

    2. semua kalo udah jadi presiden juga udah categorized as orang besar. semua kalo udah jadi presiden bisa mengalirkan dana buat ngebantu orang miskin. gak cuman pak bowo. balik2 lagi ke capres2 itu sendiri.

      Like

      Reply

    3. kayaknya terpengaruh dengan visi misi dan gaya bicara bowo,

      gimana visi misi presiden sudah lewat, sudah di rasakan belum @mahmasshony

      Like

      Reply

      1. saya juga ga tau ini mas richard, terpengaruh atau bukan. tapi yang jelas, tanpa gue melihat bowo dari golongan mana atau aliran apa, agama apa, etnis apa, yang dapat gue lihat dari bowo itu seperti rasa tidak terima terhadap bangsanya sendiri Indonesia yang terus dibawah bos2 preman, alias maling2 yang jadi pejabat. yang gue lihat itu, bowo orang yang memiliki hati, yang memiliki kepedulian. dulu gue milih jokowi sbg gubernur. tapi setelah jadi gub, kok implementasinya kurang, malah cenderung bagus ahok. jadi menurut gue, dalam jangka waktu yang mungkin bisa untuk dilakukan thdp perubahan saat ini ya prabowo. menurut pandangan gue, dia maju bukan karena ingin mengejar karir, kekuasaan, atau harta. melainkan karena ia merasa tidak ada orang yang memiliki hati dan berani untuk membawa bangsa ini. beda ama jokowi yang akhirnya terlihat mengejar karena karir semata tanpa terlalu memperdulikan bagaimana keadaan orang2 yang didzolimi. gue cuma berharap aja Indonesia itu dipimpin sama orang yang amanah, yang berani menghadapi golongan yang mengusik golongan lain, tanpa embel2 agama, aliran, atau etnis. cuma itu.

        Like

      2. o iya satu lagi, tapi ini cuma opini gue aja. mengenai kasus ham yang menyinggung prabowo. kalo menurut gue, apabila bowo melakukan itu, ia beranggapan bahwa memang seharusnya itu dilakukan demi terjaganya kebaikan di negara ini. mungkin sperti contoh jaman pak harto, dimana preman langsung hilang, alias diburu sama tentara. menurut gue ini satu2nya jalan untuk membuat negara lebih baik. dan mungkin memang tidak bisa diterima yg mungkin belum mengerti. jadi, bowo melakukan pelanggaran ham bukan karena dari hati ingin melukai orang lain atau menghilangkan nyawa orang lain. melainkan itu mungkin karena ia berpendapat itu harus dilakukan demi terjaganya ketertiban bangsa dari org yg gak punya aturan. penjahat yang biasanya melakukan perampokan dan pembunuhan itu tidak punya hati, jadi mgkin bowo membalasnya demikian juga. tapi ini kalo bowo melakukan ini lho ya.

        kedua, kalo memang iya dilakukan, bahwa bowo saat itu cuma sebagai pemimpin anggota kopasus, alias segala kegiatannya dibawah perintah wiranto atau mungkin soeharto yang sepertinya saat itu sbg jenderal, bisa googling aja. jadi tidak murni niat bowo dan tidak bisa dilakukan kalau tidak ada persetujuan dari bos atasanya.

        ketiga, saat itu prabowo tiba2 dipecat oleh atasannya dengan alasan dia tidak disiplin, yang diakui oleh agung gumelar dan wiranto kalo gak salah.

        jadi kalo memang dilakukan oleh bowo, menurut gue, dia itu korban, bukan dalang dilakukanya operasi tsb. dan mengapa bowo dikeluarkan, pendapat gue, bisa jadi dia menolak perintah yang diberikan ini. begitu.

        Like

      3. sory kei mlah kyk dpat disini sekedar opini aj aja
        -tidak terima terhadap bangsanya sendiri Indonesia yang terus dibawah bos2 preman, alias maling2 yang jadi pejabat. yang gue lihat itu, bowo orang yang memiliki hati, yang memiliki kepedulian (saya sangat setuju tp kenapa ada bagi bagi menteri?? sementara capres hatarajasa masih meninggalkan kasus apakah itu pas apakah itu bukn maling/preman yang jadi pejabat? )

        -dulu gue milih jokowi sbg gubernur. tapi setelah jadi gub, kok implementasinya kurang, malah cenderung bagus ahok.(pernah di bahas kei juga,asalkan anda tau sbg catatan , ahok adalah sebagai wakil,jd pergerakan dia atas seijin dan perintah dari pimpinan alias jokowisebagai gubernur)

        -Jokowi yang akhirnya terlihat mengejar karena karir semata tanpa terlalu memperdulikan bagaimana keadaan orang2 yang didzolimi(kalo opini saya rasa bukan di karir tapi lebih ke pendidikan agar lebih cerdas berpikir,kenapa didzlaimi, karna sistem pendidikan kurikulum indonesia sangat kurang apalagi pendidikan karakter,korupsi pun terjadi bukan hanya kekurangan,ingat manusia selalu merasa kurang puas, itu artinya mental dan pendidikan yg harus di benahi,percuma kita tutup potensi yg hilang tp ternyata dannya bocor k koruptor)

        -kalo memang iya dilakukan, bahwa bowo saat itu cuma sebagai pemimpin anggota kopasus, alias segala kegiatannya dibawah perintah wiranto atau mungkin soeharto yang sepertinya saat itu sbg jenderal, bisa googling aja. jadi tidak murni niat bowo dan tidak bisa dilakukan kalau tidak ada persetujuan dari bos atasanya.(Googliing aj :)) LOL bro, hari gini stasiun tv aj bisa dibayar apalagi berita di google? tinggal sewa jasa SEO aj beres buat black campaign)

        Nb : gue gk membela jokowi tp gue cuma menguraikan apa yang ad di opini pemikiran gue, so sah aj koq kalo mau di tanggepin , siapa tau gue juga salah :))
        siapapun presidennya tidak akan bisa merubah nasib kita, yg bisa merubah hanya diri kita sendiri

        Like

Leave a comment